Ketika Cinta Berubah Menjadi Obsesi: Kenapa Lagu Pop Terdengar "Codependent"?
Secara sekilas, kita menganggapnya sebagai romantisme mati-matian atau cinta sejati. Namun, jika dilihat dari kacamata psikologi, lagu-lagu semacam ini sering kali menggambarkan sesuatu yang lebih rumit seperti bakmie dalam mangkok yakni Ketergantungan Bersama (Codependency), Romantisisme Gelap (Dark Romanticism) dan Fusi Emosional.
Membongkar Makna di Balik Lirik 'Mati-Matian'
Kebetulan aku lagi dengerin di spotify sebuah lagu berjudul Birds of a Feather aku pun menjadi penasaran dengan video dan lirikannya itu karena walau udah setahun ini lagunya masih saja masuk 10 besar Top 50 Global spotify. Pertanyaannya adalah mengapa ini bisa diminati ya?
Kebanyakan lagu pop romantis berbicara tentang cinta yang bahagia atau perpisahan yang sedih. Namun, lagu ini memberikan nama dan suara pada rasa cinta yang mengganggu, meluap-luap, dan sedikit menakutkan yang sering dirasakan banyak orang, terutama remaja dan dewasa muda, tetapi jarang diakui.
Lalu, Melodi New Wave Pop yang upbeat, ringan, dan catchy bertentangan dengan lirik yang secara harfiah berbicara tentang kematian dan kehancuran diri. Kontras ini memungkinkan kita untuk mengonsumsi emosi gelap dengan cara yang terasa ringan dan menyenangkan. Aku jadi merasa bisa menyanyikan lirik yang mendramatisasi obsesi tanpa harus merasa tertekan oleh melodinya. Kalau kamu belom mendengar dan menikmati liriknya coba aja deh ...
Nah...dalam lagu seperti "Birds of a Feather" (Billie Eilish) atau lagu-lagu pop lain yang sangat dramatis, menurutku ada tiga konsep psikologi yang berperan:
1. Codependency: Cinta yang Terikat pada Kebutuhan
Codependency adalah pola hubungan di mana harga diri kita tergantung sepenuhnya pada pasangan. Kamu merasa berharga hanya jika dibutuhkan atau jika pasanganmu baik-baik saja.
Lirik yang bilang "Kalau kamu pergi, aku juga akan pergi" atau "Aku tidak punya apa-apa lagi tanpamu" secara psikologis menunjukkan bahwa identitas dan kemampuan individu untuk berfungsi telah menyatu dengan pasangan. Ini bukan cinta yang mandiri (independent love), tetapi cinta yang bergantung (dependent love). Next artikel kita coba bongkar tentang ini ya?!
Seseorang yang codependent seringkali memiliki kecemasan mendalam untuk ditinggalkan. Mereka berusaha mengontrol hubungan (dengan cara menjadi "penyelamat") agar pasangan tidak pergi, karena perpisahan dianggap setara dengan kehilangan diri sendiri. Bahkan bisa memunculkan sisi narsistik tersembunyi atau sering disebut covert narcissism dari kebutuhannya kontrol rasa aman, harga diri dan validasi bahwa dia orang yang baik dan penyelamat bagi pasangannya.
Jadi, Apakah Lagu Itu Salah?
Tentu saja tidak. Lagu-lagu ini adalah cerminan jujur dari perasaan intens yang dialami banyak orang dalam cinta terutama saat masih muda.
Musik sering menjadi tempat yang aman untuk mengekspresikan ambivalensi (perasaan campur aduk) dan kerentanan kita. Lagu-lagu ini memungkinkan kita merayakan cinta yang terasa sebesar kehancuran, tanpa harus menjalani kehancuran itu sendiri.
Kuncinya adalah kesadaran: Kita boleh menikmati dramanya, tetapi kita harus tahu bahwa dalam kehidupan nyata, cinta yang sehat adalah ketika kamu dan pasanganmu berani menjadi dua orang yang utuh dan mandiri, bukan dua orang yang saling menempel karena takut jatuh.
Pertanyaan untukmu: Dari semua lagu pop yang pernah kamu dengar, mana yang menurutmu paling menggambarkan Dark Romanticism?
1. Codependency: Cinta yang Terikat pada Kebutuhan
Codependency adalah pola hubungan di mana harga diri kita tergantung sepenuhnya pada pasangan. Kamu merasa berharga hanya jika dibutuhkan atau jika pasanganmu baik-baik saja.
Lirik yang bilang "Kalau kamu pergi, aku juga akan pergi" atau "Aku tidak punya apa-apa lagi tanpamu" secara psikologis menunjukkan bahwa identitas dan kemampuan individu untuk berfungsi telah menyatu dengan pasangan. Ini bukan cinta yang mandiri (independent love), tetapi cinta yang bergantung (dependent love). Next artikel kita coba bongkar tentang ini ya?!
Seseorang yang codependent seringkali memiliki kecemasan mendalam untuk ditinggalkan. Mereka berusaha mengontrol hubungan (dengan cara menjadi "penyelamat") agar pasangan tidak pergi, karena perpisahan dianggap setara dengan kehilangan diri sendiri. Bahkan bisa memunculkan sisi narsistik tersembunyi atau sering disebut covert narcissism dari kebutuhannya kontrol rasa aman, harga diri dan validasi bahwa dia orang yang baik dan penyelamat bagi pasangannya.
Orang codependent akan secara kompulsif menyetujui, menuruti, dan memenuhi setiap keinginan pasangan (bahkan yang tidak sehat) untuk memastikan pasangan tetap nyaman dan tidak ada alasan untuk pergi. Ini adalah manipulasi yang halus melalui kepatuhan ekstrem.
2. Dark Romanticism: Mengagungkan Kegelapan Emosi
Dalam psikologi modern, Dark Romanticism berfungsi sebagai lensa untuk mengeksplorasi sisi gelap dan patologis dari kondisi manusia, terutama terkait dengan dosa dan rasa bersalah yang menghantui. Genre ini terobsesi pada konsekuensi mental dari kesalahan masa lalu. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa rasa bersalah yang tidak terselesaikan (unresolved guilt) memiliki daya merusak yang besar terhadap jiwa, sering kali mendorong karakter pada kehancuran atau patologi mental. Karakter dalam karya-karya ini tidak hanya dihukum oleh lingkungan luar, tetapi juga oleh siksaan internal, di mana ingatan dan kesalahan mereka sendiri menjadi sumber kegilaan dan penderitaan fisik.
Karakteristik penting berikutnya adalah fokus pada obsesi, kegilaan, dan kehancuran diri. Dark Romanticism secara efektif menjadi eksplorasi awal terhadap gangguan mental seperti psikosis dan neurosis. Emosi yang meluap-luap, seperti obsesi cinta yang terlihat dalam lagu Birds of a Feather, ditampilkan sebagai kekuatan destruktif yang lebih kuat dari logika atau naluri bertahan hidup. Obsesi ini sering berujung pada kehancuran diri karena individu membiarkan dorongan emosional yang ekstrem menguasai dan menghancurkan kehidupan mereka, menyoroti betapa rapuhnya batas antara hasrat mendalam dan kegilaan.
Terakhir, Dark Romanticism menarik perhatian pada aspek grotesk dan tak dikenal (the uncanny), yang merupakan citra aneh dan meresahkan. Konsep uncanny (dianalisis oleh Freud) adalah perasaan tidak nyaman yang muncul ketika sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi di alam bawah sadar—seperti trauma atau ketakutan terpendam—tiba-tiba muncul ke permukaan, mengganggu rasa realitas. Genre ini juga dibanjiri melankolia dan keputusasaan eksistensial. Melankolia di sini bukan sekadar kesedihan, melainkan depresi mendalam yang dipicu oleh kesadaran akan cacat dan ketidaksempurnaan abadi dalam diri manusia dan dunia, yang pada akhirnya mengarah pada perasaan hampa dan kehilangan tujuan hidup.
Level yang paling ekstrem, seperti yang tersirat dalam lirik lagu yakni Ancaman Bunuh Diri atau Self-Harm. Maksudnya? Menyatakan bahwa hidup mereka akan berakhir jika pasangannya pergi. "If you go, I'm goin' too" atau "Nothing left to lose without my baby" secara lirik mengancam pasangannya secara emosional: jika kamu meninggalkanku, kau bertanggung jawab atas kehancuranku. Ini adalah cara yang sangat kuat untuk mengikat dan memanipulasi melalui ketakutan.
Pada intinya, codependency adalah tentang kontrol melalui kepasrahan. Orang codependent rela mengorbankan diri mereka sendiri, asalkan pengorbanan itu memberi mereka kendali absolut atas kehadiran orang yang mereka cintai.
2. Dark Romanticism: Mengagungkan Kegelapan Emosi
Dalam psikologi modern, Dark Romanticism berfungsi sebagai lensa untuk mengeksplorasi sisi gelap dan patologis dari kondisi manusia, terutama terkait dengan dosa dan rasa bersalah yang menghantui. Genre ini terobsesi pada konsekuensi mental dari kesalahan masa lalu. Secara psikologis, ini menunjukkan bahwa rasa bersalah yang tidak terselesaikan (unresolved guilt) memiliki daya merusak yang besar terhadap jiwa, sering kali mendorong karakter pada kehancuran atau patologi mental. Karakter dalam karya-karya ini tidak hanya dihukum oleh lingkungan luar, tetapi juga oleh siksaan internal, di mana ingatan dan kesalahan mereka sendiri menjadi sumber kegilaan dan penderitaan fisik.
Karakteristik penting berikutnya adalah fokus pada obsesi, kegilaan, dan kehancuran diri. Dark Romanticism secara efektif menjadi eksplorasi awal terhadap gangguan mental seperti psikosis dan neurosis. Emosi yang meluap-luap, seperti obsesi cinta yang terlihat dalam lagu Birds of a Feather, ditampilkan sebagai kekuatan destruktif yang lebih kuat dari logika atau naluri bertahan hidup. Obsesi ini sering berujung pada kehancuran diri karena individu membiarkan dorongan emosional yang ekstrem menguasai dan menghancurkan kehidupan mereka, menyoroti betapa rapuhnya batas antara hasrat mendalam dan kegilaan.
Terakhir, Dark Romanticism menarik perhatian pada aspek grotesk dan tak dikenal (the uncanny), yang merupakan citra aneh dan meresahkan. Konsep uncanny (dianalisis oleh Freud) adalah perasaan tidak nyaman yang muncul ketika sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi di alam bawah sadar—seperti trauma atau ketakutan terpendam—tiba-tiba muncul ke permukaan, mengganggu rasa realitas. Genre ini juga dibanjiri melankolia dan keputusasaan eksistensial. Melankolia di sini bukan sekadar kesedihan, melainkan depresi mendalam yang dipicu oleh kesadaran akan cacat dan ketidaksempurnaan abadi dalam diri manusia dan dunia, yang pada akhirnya mengarah pada perasaan hampa dan kehilangan tujuan hidup.
Frasa seperti "cinta hingga liang kubur" adalah bentuk romantisme yang hiperbolis dan melodramatis. Tujuannya adalah untuk membuat perasaan terasa maksimal dan valid. Dalam konteks lagu pop, emosi yang intens (walaupun destruktif) dianggap lebih "nyata" atau "puitis" daripada cinta yang tenang dan stabil.
Mengapa Populer sih? Menurutku aliran ini sangat cocok dengan drama masa muda. Dengan meromantisasi penderitaan atau obsesi, penyanyi dapat memberikan validasi kepada pendengar bahwa perasaan mereka yang kuat, cemas, atau sedikit obsesif itu sah dan indah.
3. Fusi Emosional: Hilangnya Batas Diri
Mengapa Populer sih? Menurutku aliran ini sangat cocok dengan drama masa muda. Dengan meromantisasi penderitaan atau obsesi, penyanyi dapat memberikan validasi kepada pendengar bahwa perasaan mereka yang kuat, cemas, atau sedikit obsesif itu sah dan indah.
3. Fusi Emosional: Hilangnya Batas Diri
Coba bayangin begini: Dalam hubungan yang sehat, aku punya dunia emosiku sendiri, dan kamu juga punya dunia emosimu sendiri. Kita bisa jalan beriringan, saling support, tapi kita tetap dua orang yang utuh. Nah, Fusi Emosional itu terjadi ketika batas antara dunia emosiku dan dunia emosimu melebur total. Garis batas yang harusnya ada itu hilang. Ini yang bikin hubungan jadi terasa super intens, tapi sekaligus menyesakkan.
Apa Tanda-tandanya di Kehidupan Nyata?
1. Stres Otomatis: Kalau kamu lagi panik karena deadline kerjaan, aku ikut-ikutan panik dan enggak bisa tenang, padahal itu bukan tanggung jawabku. Aku enggak bisa memisahkan, "Ini stres kamu, dan ini rasa kasihan/simpati aku." Semuanya jadi satu rasa cemas.
2. Hilangnya Pendapat Sendiri: Aku jadi susah banget punya pendapat yang beda dari kamu. Kalau kamu bilang A, aku harus bilang A juga. Kalau aku mencoba bilang B, rasanya kayak mengkhianati hubungan kita, padahal kita cuma beda selera film!
3. Ancaman Perpisahan = Ancaman Kematian: Ini yang paling nyambung sama lagu "Birds of a Feather." Lirik yang bilang, "If you go, I'm goin' too, uh. Nothing left to lose without my baby" itu adalah manifestasi ekstrem dari fusi. Karena identitasku sudah menyatu 100% denganmu, kalau kamu pergi, rasanya bukan cuma patah hati, tapi aku kehilangan alasan untuk diriku ada.
Intinya, dalam fusi emosional, kita sering mengira perasaan "kita adalah satu jiwa yang sama" itu adalah puncak dari cinta sejati. Padahal, itu adalah ikatan yang berbahaya. Hubungan yang sehat itu butuh dua orang yang mandiri (dua gelas air yang berbeda) yang memilih bersama, bukan satu kesatuan yang akan hancur lebur jika salah satunya bergerak menjauh.
1. Stres Otomatis: Kalau kamu lagi panik karena deadline kerjaan, aku ikut-ikutan panik dan enggak bisa tenang, padahal itu bukan tanggung jawabku. Aku enggak bisa memisahkan, "Ini stres kamu, dan ini rasa kasihan/simpati aku." Semuanya jadi satu rasa cemas.
2. Hilangnya Pendapat Sendiri: Aku jadi susah banget punya pendapat yang beda dari kamu. Kalau kamu bilang A, aku harus bilang A juga. Kalau aku mencoba bilang B, rasanya kayak mengkhianati hubungan kita, padahal kita cuma beda selera film!
3. Ancaman Perpisahan = Ancaman Kematian: Ini yang paling nyambung sama lagu "Birds of a Feather." Lirik yang bilang, "If you go, I'm goin' too, uh. Nothing left to lose without my baby" itu adalah manifestasi ekstrem dari fusi. Karena identitasku sudah menyatu 100% denganmu, kalau kamu pergi, rasanya bukan cuma patah hati, tapi aku kehilangan alasan untuk diriku ada.
Intinya, dalam fusi emosional, kita sering mengira perasaan "kita adalah satu jiwa yang sama" itu adalah puncak dari cinta sejati. Padahal, itu adalah ikatan yang berbahaya. Hubungan yang sehat itu butuh dua orang yang mandiri (dua gelas air yang berbeda) yang memilih bersama, bukan satu kesatuan yang akan hancur lebur jika salah satunya bergerak menjauh.
Jadi, Apakah Lagu Itu Salah?
Tentu saja tidak. Lagu-lagu ini adalah cerminan jujur dari perasaan intens yang dialami banyak orang dalam cinta terutama saat masih muda.
Musik sering menjadi tempat yang aman untuk mengekspresikan ambivalensi (perasaan campur aduk) dan kerentanan kita. Lagu-lagu ini memungkinkan kita merayakan cinta yang terasa sebesar kehancuran, tanpa harus menjalani kehancuran itu sendiri.
Kuncinya adalah kesadaran: Kita boleh menikmati dramanya, tetapi kita harus tahu bahwa dalam kehidupan nyata, cinta yang sehat adalah ketika kamu dan pasanganmu berani menjadi dua orang yang utuh dan mandiri, bukan dua orang yang saling menempel karena takut jatuh.
Pertanyaan untukmu: Dari semua lagu pop yang pernah kamu dengar, mana yang menurutmu paling menggambarkan Dark Romanticism?
Comments
Post a Comment