Bukan Cuma Bangkit, Tapi Melompat Jauh: Memahami Dua Filosofi Ketahanan Diri

Anak keduaku, akhirnya masuk dalam tim basket di SD nya. Ini adalah hadiah yang terindah untuk tahun ini. Jujur saja, walau bapaknya dulu masa remaja dan dewasa awalnya menghidupi filosofi,"basket is my way" namun untuk urusan minat bakat anak, baru yang kedua ini lebih memiliki bakat dan minat disitu daripada kakaknya.

Turnamen bola basket dari kelompok U-12 sampai senior sekarang banyak sekali diselenggarakan, tentunya karena motivasi anak yang lagi tinggi-tingginya, aku mulai mengamati turnamen itu dengan kekaguman karena banyak hal baru kudapatkan. salah satunya adalah hidupnya permianan basket itu untuk kehidupan kita. 

Hidup kita sering kali terasa seperti permainan basket. Terkadang berhasil mencetak poin, tapi tak jarang kita juga gagal, jatuh, atau bahkan cedera. Dalam menghadapi kegagalan dan kesulitan, ada dua cara pandang utama yang bisa kita adopsi: bouncing back dan bouncing forward. Keduanya adalah bentuk ketahanan diri, namun memiliki tujuan dan hasil akhir yang sangat berbeda.

Pendekatan Klasik: Bouncing Back (Resiliensi)

Melihat permainan basket kali ini menghidupkan kembali kenanganku sebagai pemain dan sekaligus sebagai pelatih. seringkali aku teriak untuk pemain sendiri agar mereka tetap fokus dalam permainan khususnya dalam pertahanan ketika gagal dalam menyerang. 

Konsep bouncing back adalah pemahaman tradisional tentang resiliensi. Filosofi ini berfokus pada kemampuan untuk pulih dan kembali ke kondisi semula setelah mengalami kesulitan. Jika kamu kehilangan pekerjaan, tujuannya adalah segera mendapatkan pekerjaan baru yang setara. Jika kamu gagal dalam sebuah proyek, tujuannya adalah memulai proyek baru yang serupa.

Dalam dunia psikologi, hal ini didasari oleh teori resiliensi yang dikembangkan oleh para pionir seperti Norman Garmezy. Teori ini menekankan adaptasi dan penyesuaian positif untuk mempertahankan keseimbangan psikologis.

Kelebihan dan Kekurangan:

  • Kelebihan: Pendekatan ini menawarkan pemulihan yang cepat, memberikan rasa aman dan stabilitas karena kamu kembali ke zona yang dikenal. Ini sangat efisien untuk mengatasi masalah-masalah kecil atau krisis yang menuntut respons cepat.

  • Kekurangan: Pendekatan ini cenderung reaktif dan bisa menjebakmu dalam siklus yang sama. Karena tujuannya hanya kembali, kamu bisa mengabaikan akar masalah yang membuatmu rentan sejak awal, dan melewatkan peluang untuk bertumbuh.

Sama seperti seorang pemain basket yang gagal melakukan tembakan bebas, ia tidak perlu mengubah gaya bermainnya secara keseluruhan. Ia hanya perlu bouncing back—segera melupakan kegagalannya, mengatur napas, dan kembali fokus pada pertahanan.

Jalan Transformasional: Bouncing Forward (Pertumbuhan Pasca-Trauma)

Sementara bouncing back adalah tentang bertahan, bouncing forward adalah tentang bertumbuh. Ini adalah filosofi yang menggunakan kesulitan sebagai katalis untuk perubahan positif yang fundamental dalam hidup. Konsep ini didasari oleh teori Post-Traumatic Growth (PTG) yang dikembangkan oleh psikolog Richard Tedeschi dan Lawrence Calhoun.

Teori PTG menjelaskan bahwa perjuangan yang intensif setelah trauma dapat menghasilkan lima domain pertumbuhan utama, yaitu: apresiasi yang lebih besar terhadap hidup, hubungan yang lebih dalam, kesadaran akan kekuatan pribadi, perubahan spiritual, dan penemuan kemungkinan-kemungkinan baru dalam hidup.

Kelebihan dan Kekurangan:

  • Kelebihan: Pendekatan ini sangat transformasional. Seseorang tidak hanya pulih, tetapi menemukan makna baru, tujuan, dan kekuatan yang tidak pernah mereka miliki sebelumnya. Ini dapat mengarah pada kualitas hidup yang jauh lebih dalam dan memuaskan.

  • Kekurangan: Proses ini sangat menantang dan menyakitkan, dan tidak ada jaminan bahwa semua orang akan mengalaminya. Ini membutuhkan refleksi diri yang mendalam dan kerja keras untuk memproses trauma, sehingga tidak bisa dilakukan secara instan.

Ambil contoh seorang yang terpuruk akibat pandemi. Ia tidak hanya "kembali" berusaha. Ia menggunakan kegagalan itu sebagai pelajaran untuk bouncing forward. Ia mengubah cara pandangnya, menata ulang prioritas, dan akhirnya menjadi agen yang lebih berintegritas dan peduli. Atau, bayangkan seorang atlet yang mengalami cedera parah—ia harus bouncing forward dengan mengubah program latihan, menguatkan mental, dan mungkin menemukan gaya bermain yang lebih bijaksana.

Kesimpulan: Mana yang Lebih Baik?

Tidak ada satu pendekatan yang lebih unggul dari yang lain. Pertanyaannya bukanlah "mana yang lebih baik?", melainkan "kapan saya harus menggunakan masing-masing?"

  • Gunakan bouncing back untuk kesalahan kecil yang perlu dilupakan dengan cepat. Ini adalah keterampilan penting untuk menjaga momentum.

  • Gunakan bouncing forward untuk krisis besar yang mengubah hidup. Ini adalah kebijaksanaan untuk mengubah rasa sakit menjadi pertumbuhan.

Pada akhirnya, ketahanan diri yang sejati bukanlah hanya tentang satu konsep, tetapi tentang kebijaksanaan untuk tahu kapan harus bangkit kembali dan kapan harus melompat lebih jauh.

Comments

Popular posts from this blog

Apa Itu TalentDNA? Panduan Lengkap untuk Mengenal Potensi Anda

Buah Jatuh Jauh dari Pohon?

Pahami Dirimu, Jangan Cuma Jadi 'Just Mom'! Ini Dia Pengaruh Talenta Tersembunyi yang Bikin Kamu Terjebak!